Arti
Syi’ah dalam bahasa
arab adalah pengikut.
Syi’ah
Ali berarti –menurut bahasa arab- “ pengikut Ali.
Tetapi
arti “kaum syi’ah menurut istilah yang dipakai dalam lingkungan ummat
islam ialah kaum yang beri’tiqad bahwa saidina Ali adalah yang berhak menjadi
khalifah pengganti nabi, karena nabi berwasiat bahwa pengganti beliau sesudah
wafat adalah saidina Ali.
Kelanjutan
dari i’tiqad ini maka khalifah-khalifah pertama, kedua dan ketiga yaitu saidina
Abu Bakar, Umar, dan Utsman adalah
khalifah yang tidak sah, perampok-perampok
yang berdosa, karena mengambil pangkat khalifah tanpa hak dari saidina Ali Kw.
Maka
inti dari faham Syi’ah selanjutnya adalah :
- Pangkat khalifah pengganti nabi sesudah nabi wafat diwariskan oleh ahli waris nabi dengan jalan tunjukan dari nabi. Yang ditunjuk oleh nabi Muhammad Saw. Pengganti beliau sesudah beliau wafat adalah saidina Ali bin Abi Thalib Kw. Yaitu saudara sepupu nabi, menantu nabi, pahlawan islam yang berani, dan salah seorang dari sepuluh sahabt yang telah dikhabarkan oleh nabi akan masuk syurga.
- Barang siapa yang tidak menerima faham ini adalah orang terkutuk karena tidak mau menuruti wasiat nabi.
- Khalifah yang dalam istilah syi’ah “Imam”, adalah pangkat yang tertinggi dalam islam dan bahkan salah satu rukun dan tiang islam.
- Karena itu tidak mungkin pangkat itu dibiarkan begitu saja dan diserahkan saja kepada pilihan rakyat. Imam harus ditunjuk oleh nabi dan imam-imam yang lain ditunjuk pula oleh imam itu. Orang-orang yang memilih khalifah dengan jalan syurga (musyawarat) adalah orang-orang berdosa.
- Khalifah (imam) itu menurut faham syi’ah adalah “ma’shum” artinya tidak pernah membuat dosa dan tidak boleh diganggu gugat dan di kritik, karena ia adalah pengganti nabi yang sama kedudukannnya dengan nabi.
- Khalifah (imam) masih mandapat wahyu dari Tuhan, walaupun tidak dengan perantaraan jibril dan wahyu yang dibawanya itu wajib dita’ati. Imam-imam kaum syi’ah mewarisi pangkat nabi atau jabatan nabi walaupun ia bukan nabi.
- Itulah inti dari faham syi’ah, walaupun banyak yang lain menjadi kelanjutan dari faham itu.
2. Keterangan
Yang Keliru
Ada
beberapa kaum orientalis (orang-orang barat yang suka menyelidiki dan menulis
soal-soal islam) yang menerangkan bahwa faham syi’ah itu ialah faham yang
mencintai saidina Ali Kw atau orang-orang yang mencintai ahli bait rasulullah.
Keterangan
ini keliru, karena kaum Ahlussunnah dan bahkan seluruh ummat islam mencintai
ahli bait khususnya saidina Ali Kw., terbukti dengan do’a shalat seluruh ummat
islam, yaitu :
اللهما صلى على سيدنا محمد وعلى ال سيدنا محمد
artinya
;” Ya Allah, shalawatlah atas penghulu kami “Muhammad” dan atas keluarga
penghulu kami “Muhammad”,
Tersebut dalam kitab hadist :
دعا رسول الله صلى الله عليه وسلم عليا و فاطمة و حسنا و حسينا
فقال : اللهما هؤلاء اهلى
Artinya
:” Rasulullah Saw. Memanggil saidina Ali, Fathimah, Hasan dan Husen, maka
beliau berkata : Ya Allah, mereka inilah keluarga aku (H.S.R. Muslim, Syarah
Muslim Juzu’ XV hal. 176).
Dan
tersebut dalam hadist bukhari dan muslim :
عن سعد عن النبي صلى الله عليه وسلم انه قال لعلي : اما ترضى ان تكون منى
بمنزلة هارون من موسى
Artinya
:”Dari Sa’ad (bin Abi Waqash), beliau berkata : berkata Rasulullah kepada Ali :
adalah engkau tidak suka, kalau engkau ditempatkan disisiku serupa dengan
tempat yang diberikan kepada nabi Harun disisi Musa ?? (H.S.R. Bukhari- Shahih
Bukhari II hal. 205-Syarah Muslim juz XV hal. 176).
Jadi,
saidina Ali Kw. Diakui oleh nabi sebagai ahli-famili beliau dan diakui oleh
nabi bahwa kedudukannya disisi nabi sama dengan kedudukan nabi harun disisi
nabi Musa. Alangkah tingginya derajat beliau !
Dan
pula, hampir seluruh ummat islam diseluruh dunia mendo’a dalam khutbah-khutbah
jum’at begini :
وارض اللهما عن ليث بنى غالب امام المشارق والمغارب سيدنا علي ابن ابى
طالب
Artinya
:” Ya Allah, berilah keridhaan untuk pahlawan kami bani Ghalib, Imam orang
masyriq dan maghrib, saidina Ali bin Abi Thalib !”
Apakah
dengan membaca shalawat yang menunjukkan kecintaan kepada ahli bait Rasulullah
dan apakah karena kita mendo’akan saidina Ali didalam khutbah kita akan menjadi
orang syi’ah ?
Tidak,
sekali lagi tidak, karena cinta kepada ahli bait dan khususnya mencintai
saidina Ali adalah i’tiqad dan faham kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah juga.
3. Saidina
Ali Kw. Bukan syi’ah dan bukan imam kaum syi’ah saja.
Saidina
Ali Kw., siti Fathimah Rda, Hasan dan Husen (cucu-cucu nabi) dan Abbas Bin
Abdul Muthalib bukanlah kaum syi’ah karena beliau-beliau itu tidak sepaham
dengan kaum syi’ah.
Sejarah
telah membuktikan :
- Saidina Ali Kw. Dan siti Fathimah Rda. Ikut membai’ah (mengangkat) saidina Abu Bakar menjadi khalifah yang pertama, walaupun agak sedikit terlambat.
- Saidina ali Kw. Ikut membai’at khalifah yang kedua, yaitu saidina Umar Bin Khattab Rda.
- Saidina Ali kw. Ikut membai’at saidina Utsman, khalifah yang ketiga, walaupun beliau termasuk salah seorang calon untuk itu dan termasuk salah seorang anggota pemilih. Beliau tidak mencalonkan dirinya dan tidak memilih dirinya.
Andaikata
kata ada wasiat nabi Muhammad saw. Kepadanya, bahwa yang harus menjadi khalifah
sesudah nabi wafat adalah ia sendiri tentulah beliau tidak akan membai’at abu
Bakar, Umar dan Utsman Rda.
Andai kata
ada wasiat itu tentulah beliau kemukakan kepada sahabat-sahabat yang berkumpul
di tsaqifah bani sa’idah untuk memilih khalifah yang pertama.
Saidina
ali Kw. Mengetahui, bahwa nabi Muhammad saw. Sebelum wafat tidak ada berwasiat
bahwa khalifah sesudah beliau meninggal adalah Ali.
Dalam
kitab hadist bukhari, yaitu kitab yang dianggap oleh ummat islam sebagai kitab
yang kedua sesudah Al-Qur’an tersebut begini :
عن عبد الله بن عباس ان علي ابن ابى طالب رضي الله عنه جرج من عند رسول
الله صلى الله عليه وسلم فى وجعه الزى توفي فيه فقال الناس : يا ابا حسن كيف اصبح
رسول الله صلى الله عليه وسلم ؟ فقال : اصبح بحمد الله بارئا. فاخذ بيده عباس ابن
عبد المطلب فقال له : انت والله بعد ثلاث عبد العصا وانى والله لارى رسول الله صلى
الله عليه وسلم سوف يتوفى من وجعه هذا اني لاعرف وجوه بنى عبد المطلب عند الموت,
اذهب بنا عند رسول الله صلى الله عليه وسلم فلنساله فيمن هذا الامر ؟ ان كان فينا
علمنا ذلك وان كان في غيرنا علمناه فاوصى بنا. فقال علي : انا و الله لئن سألناها
رسول الله صلى الله عليه وسلم فمنعناها لا يعطيناها الناس بعده وإنى و الله لا
أسألها رسول الله صلى الله عليه وسلم.
Artinya
:” dari sahabt nabi Ibnu Abbas, beliau mengkhabarkan, bahwasanya Ali Bin Abi
Thalib keluar dari rumah nabi ketika beliau sakit akan wafat, maka orang
bertanya kepada saidina Ali : Bagaiman keadaan Rasulullah ? saidina Ali
menjawab : Alhamdulillah, beliau berangsur sembuh, pada ketika itu dipegang
tangan saidina Abbas bin Abdul Muthalib lalu beliau berkata :” engkau sesudah
tiga hari lagi akan menjadi “hamba tongkat” (akan diperintah orang lain) demi
Allah saya tahu bahwa Rasulullah akan wafat dalam sakit ini, saya tahu keadaan
maka anak-anak Abdul Muthalib pada ketika akan wafat. Ayo mari kita masuk
kembali kepada Rasulullah dan kita tanyakan kepada beliau siapakah gerangan
yang akan memegang jabatan ini sesudah beliau meninggal. Kalau kepada kita
diserahkan maka kita sudah tahu dan kalau kepada orang lain maka kita pun sudah
tau, atau (kita desak) beliau mewasiatkan untuk kita.
Saidina
Ali menjawab : kalau kita minta dan nabi tidak memberikannya maka jabatan ini
selamanya tidak akan diberikan orang kepada kita, demi Allah saya tidak akan
memintanya kepada Rasulullah (H,S,R Imam Bukhari, “lihat Fathul Bari, Juz 9.
Pagina 208”).
Nyatalah
dalam keterangan yang disebutkan dalam kitab bukhari ini, bahwa Ali tak pernah
menerima wasiat dari nabi untuk menjadi khalifah, bahwa nabi tak pernah
menunjuk saidina Ali sebagai khalifah yang pertama, bahwa ali, Abbas dan Ibnu
Abbas (qarib-qarib nabi yang terdekat) tidak pernah meminta-minta jabatan
khalifah kepada nabi.
Dapat
juga dipetik dari keterangan ini bahwa saidina ali bukanlah orang yang berfaham
serupa faham syi’ah yang mengi’tiqadkan bahwa jabatan imam adalah dari tunjukan
nabi, dan bahwa beliau ditunjuk oleh nabi untuk jabatan itu.
Karena
itu dapat disimpulkan bahwa saidian Ali buka penganut pahan syi’ah, bukan
termasuk golongan syi’ah, dan bukan imam kaum syi’ah saja, tetapi juga imam
kaum ahlussunnah Wal Jama’ah dalam arti yang luas.
4. Abu
Dzar Bukan Penganut Faham Syi’ah
Dalam
buku yang ditulis oleh orang-orang barat dan kadang-kadang diover oleh
penulis-penulis Islam bahwa benih-benih syi’ah sudah dipunyai oleh
sahbat-sahabat. Nabi pada waktu beliau masih hidup.
Diantara
orang yang berfaham macam itu terdapat sahabat yang utama, yaitu abu dzar,
salman farisi, muqdad, dan lain-lain, kata mereka.
Keterangan
ini tidak mempunyai sandaran yang kuat kalau tak akan dikatakan keterangan
palsu yang tidak benar.
Abu
Dzar dan kawan-kawan beliau itu tidak pernah berfaham bahwa nabi berwasiat
kepada ali tentang khalifah, bahwa khalifah harus turun temurun dari anak ke
cucu dan lain-lain sebagainya seperti faham syi’ah.
Mungkin
ada sahabt nabi yang berfaham bahwa saidina ali lebih mulia dari Abu Bakar
karena beliau saudara nabi dan menantu nabi, tetapi mereka bukan berfaham bahwa
khalifah sesudah nabi wafat mesti saidina Ali.
Buktinya
mereka semuanya membai’ah (mengangkat) saidina Abu Bakar Rda. Menjadi khalifah
yang pertama.
5. Rapat
Saqifah Bani Sa’idah
Nabi
Muhammad Saw. Setelah selesai mengerjakan tugas menyampaikan wahyu ilahi selama
23 tahun, meninggal dunia pada tanggal 12 rabiul awal tahun 11 hijriyah,
bertepatan dengan 8 juni tahun 632 Masehi.
Beliau,
nabi Muhammad Saw. Tidak berwasiat siapakah yang akan menggantikan beliau
sesudah wafat dan tidak pula memberikan petunjuk bagaimana cara-caranya memilih
pengganti beliau itu.
Rupanya
hal ini diserahkan kepada kebijaksanaan ummat islam saja sesuai dengan keadaan
masa dan tempat dan sesuai dengan situasi ketika itu.
Memang
ada Nabi menyuruh Saidina Abu Bakar menjadi Imam sembahyang pada ketika beliau
sakit, begitu juga pernah nabi menyuruh saidina Ali menjaga kampung halaman
pada ketika beliau pergi berperang, akan tetapi hal ini tidak langsung mengenai
khalifah yang akan mengganti beliau sesudah wafat.
Maka
pada hari wafatnya nabi Muhammad Saw, spontan sahabat-sahabat terkemuka,
orang-orang anshar (0rang madinah), dan orang-orang muhajirin (orang yang
pindah dari mekkah ke madinah) berkumpul disuatu balai yang bernama saqifah
bani sa’idah.
Saidina
Abu Bakar dan saidina umar, sahabat-sahabat nabi yang utama pula datang kesitu,
ikut berkumpul bersama-sama dengan kaum anshar dan muhajirin.
Saidina
Ali Kw. (menantu nabi dan saudara sepupu nabi) tidak datang kerapat itu, karena
beliau sibuk dirumah mengurus jenazah nabi yang belum dimakamkan.
Dalam rapat itu kaum anshar mencalonkan Sa’ad Bin Ubaidillah (orang Madinah) untuk menjadi khalifah, sedangkan orang-orang Muhajirin mencalonkan Abu Bakar, Umar Bin Khatab atau Abu Abaidah Ibnu Jarrah.
Adapun Saidina Ali tidak ada yang
mencalonkan beliau, mungkin umur beliau masih sangat muda ketika itu.
Sesudah sedikit ada perdebatan yang
tajam antara kaum anshar dan kaum muhajirin, sepakatlah mereka dalam memilih
Abu Bakar sebagai Khalifah yang pertama pengganti nabi.
Sebagaimana dikatakan diatas, saying
sekali Saidina Ali tidak menghadiri acara tersebut karena sibuk dirumah, tidak
hadirnya beliau bukan karena beliau enggan, tetapi karena soal teknis saja,
yaitu karena sibuk mengurus jenazah Rasulullah.
Memang dapat dikatakan pula bahwa
saidina Ali dan istri beliau Siti Fathimah, sedikit kurang senang kepada acara
rapat musyawarah di Saqifah Bani Sa’idah itu, karena beliau-beliau ini ada yang
berpendapat bahwa ada baiknya bila mengurus jenazah nabi lebih dahulu daripada
menetapkan siapa yang menjadi khalifah.
Tetapi sahabat-sahabat nabiyang
utama yang berkumpul di saqifah bani sa’idah berpendapat, bahwa pemilihan
khalifah sangat mendesak dan perlu disegerakan, guna mencari pemimpin yang akan
memimpin acara pemakaman nabi dan juga untuk jangan vakum terhadap kekuasaan
sehingga dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.
Demi untuk menjaga keutuhan dalam
lingkungan ummat islam, pemilihan khalifah pengganti nabi harus dikerjakan
secepatnya, agar jangan terjadi perpecahan, begitulah jalan fikiran
sahabat-sahabat nabi yang berkumpul di saqifah bani sa’idah ketika itu.
6. Saidina Ali Membai’ah
Saidina ali
dan siti fathimah tidak lama sesudah itu lantas membai’ah, ya’ni mengangkat dan
memberikan suara setuju atas pengangkatan saidina Abu Bakar menjadi khalifah
yang pertama.
Setelah
beberapa hari saidina Abu Bakar menjadi khalifah, lantas beliau memanggil saidina
Ali dan bertanya : “Hai Abu Hasan, apakah saudara tidak suka kalau saya menjadi
khalifah pengganti nabi ?
Jawab
saidina Ali :”demi Allah ! bukan begitu persoalannya, saya bersumpah tidak akan
memakai selendangku sebagai orang yang kematian kecuali untuk hari jum’at”.
Kemudian
beliau membai’ah dan memberikan suara. (Tarikhul Qur’an, karangan Ibrahim
Al-Abyari, halaman 91).
Jadi bagi
saidina Ali dan siti Fathimah persoalan khalifah itu tidak menjadi suatu
persoalan yang menjadi keberatan.
Siti
Fathimah Az-Zahra binti Rasulullah meninggal dunia 6 bula sesudah wafatnya nabi
dengan meninggalkan dua orang putra, Hasan dan Husein.
Siti
Fathimah, tidak terlibat sama sekali dalam persoalan syi’ah ini, walaupun
kemudian ada kerajaan syi’ah di mesir yang menamakan kerajaannya dengan
“kerajaan Fathimiyah”.
Ini perlu
ditegaskan agar jangan ada persangkaan bahwa siti Fathimah anak Rasulullah ikut
dalam gerakan Syi’ah yang salah ini.
Khalifah
Abu Bakar memimpin selama 2 tahun 3 bulan dan 10 hari. Beliau wafat pada jumadil
akhir tahun 12 hijriyah.
Pada ketika
beliau mulai sakit, sesudah melakukan musyawarah sahabat-sahabat nabi yang
lain, beliau menunjuk, mengusulkan untuk pengganti beliau sahabat nabi yang
utama yaitu saidina Umar Bin Khatab Rda.
Calon yang
dimajukan oleh saidina Abu Bakar ini diterima oleh seluruh kaum muslimin,
termasuk saidina Ali Kw.
Mereka
semuanya membai’ah, mengangkat dan menyetujui bahwa khalifah ke II adalah
saidina Umar Bin Khatab.
Pada ketika
itu tidak seorang pun sahabat nabi yang tampil kemuka untuk mencalonkan Saidina
Ali Kw, begitu juga tidak seorang pun yang mengatakan bahwa nabi pernah
berwasiat supaya khalifah pengganti beliau adalah saidina Ali Kw.
Dalam masa
pemerintahannya, saidina Umar Bin Khatab pernah pergi ke baital maqdis untuk menyaksikan
penyerahan kota itu ke tangan orang islam dari kerajaan romawi timur, maka
untuk pengganti beliau di Madinah selama perjalanan, beliau menunjuk Saidina
Ali Bin Abi Thalib Kw.
Kejadian
ini adalah suatu fakta, bahwa saidina Ali adalah orang yang patuh kepada
Khalifah yang kedua, Saidina Umar Bin Khatab.
Pemerintah
Saidina Umar berjalan selama 10 tahun 6 bulan, beliau wafat tanggal 16
Zulqaedah tahun 23 hijriyah.
Sebelum
beliau berpulang ke rahmatullah maka beliau menunjuk sebuah panitia untuk memilih
pengganti beliau sebagai khalifah yang ketiga sesudah nabi.
Anggota
panitia itu adalah :
- Saidina Ali Bin Abi Thalib Kw.
- Saidina Utsman Bin ‘Affan Rda.
- Zubeir Bin ‘Awam Rda.
- Sa’ad Ibnu Abi Waqash Rda.
- Abdurrahman Bin ‘Auf Rda.
- Thalhah Bin ‘Ubaidillah Rda.
- Abdullah Bin Umar Rda.
Saidina
Umar berwasiat agar panitia ini memilih salah seorang daripadanya menjadi
khalifah ke III, kecuali anaknya Abdullah Bin Umar Rda, jangan dipilih.
Setelah
saidina Umar wafat maka panitia ini, termasuk Saidina ‘Ali, bersidang memilih
khalifah, yang kemudian jatuhlah pilihan kepada Saidina Utsman Bin ‘Affan Rda.
Melihat
kejadian sejarah ini bertambah yakinlah kita, bahwa nabi tidak pernah berwasiat
supaya saidina Ali pengganti beliau, karena andaikata wasiat itu ada, tentulah saidina
Ali akan mengemukakannya dalam rapat panitia pemilihan khalifah yang ketiga ini
apalagi beliau ikut menjadi anggota panitia itu.
Dan lagi,
andaikata ada wasiat itu sudah tentu beliau tidak memilih saidina Utsman Rda.
Saidina ali
Kw, membai’ah kepada tiga orang khalifah sesudah nabi, khalifah Abu Bakar, Umar
Bin Khattab, dan Utsman Bin ‘Affan.
Kesimpulannya
dapat dikatakan bahwa Saidina Ali bukanlah kaum syi’ah yang berfaham bahwa nabi
Muhammad Saw, berwasiat bahwa pengganti beliau adalah saidina Ali, tetapi
saidina Ali termasuk golongan Kaum Ahlussunnah Waljama’ah yang berfaham dan
beri’tiqad bahwa khalifah-khalifah itu harus dipilih dengan jalan syura, dan
bahwa khalifah-khalifah itu orang biasa, bukan nabi dan bukan pula ma’shum,
bukan penerima wahyu lagi sebagai yang difahamkan kaum syi’ah yang salah itu.
7.
Abdullah Bin Saba’ Biang Keladi Gerakan Syi’ah.
Ada seorang pendeta yahudi dari
yaman masuk agama islam, namanya Abdullah Bin Saba’. Sesudah ia masuk Islam
lantas dating ke Madinah pada akhir-akhir tahun kekuasaan khalifah Saidina
Utsman Bin ‘Affan, yaitu sekitar tahun 30 H.
Orang ini kebetulan tidak begitu
mendapat penghargaan dari khalifah Utsman Bin ‘Affan Rda, dan orang-orang besar
di Madinah sebagaimana yang diharapkannya. Ia menyangka pada mulanya bahwa
kalau ia dating ke Madinah ia akan disambut dengan kebesaran sebab dia adalah
seorang pendeta besar dari yahudi yaman yang masuk islam.
Harapannya ini meleset, maka karena
itu ia agak sedikit tersinggung.
Sebahagian ahli sejarah mengatakan
bahwa masuknya Abdullah Bin Saba’ kedalam islam adalah dengan tujuan untuk
mengacaukan islam dari dalam, karena mereka tak sanggup mengacaukan islam dari
luar.
Pada mulanya ia benci kepada
khalifah Saidina Utsman karena khalifah tak menyambutnya. Ia membangunkan
gerakan anti saidina Utsman dan berusaha meruntuhkannya dan menggantikannya
dengan Saidina ‘Ali Kw.
Usaha Abdullah Bin Saba’ ini
mendapat pasaran di kota-kota besar ummat islam ketika itu, seperti di Madinah,
di Mesir, Di kuffah, di Bashrah dan lain-lain, karena kebetulan orang-orang
sudah banyak pula yang tidak sesuai dengan saidina Utsman, karena beliau
menghilangkan cincin stempel nabi Muhammad Saw. Dan beliau juga banyak
mengangkat orang-orang dari suku beliau, yaitu orang-orang bani umayyah menjadi
pengusaha-pengusaha daerah.
Demi untuk menjatuhkan dan
mengalahkan saidina Utsman Rda, Abdullah Bin Saba’ pergi ke mesir, ke kuffah,
ke bashrah, ke damsyiq dan lain-lain, untuk membuat sebuah propaganda tentang
keagungan Saidina Ali Kw.
Abdullah Bin Saba’ sangat
berlebih-lebihan mengagung-ngagungkan Saidina Ali dan sangat berani membuat
hadist-hadist palsu yang tujuan mengangungkan begitu rupa dan merendahkan
saidina Utsman, saidina Umar Bin Khatab dan saidina Abu Bakar, yaitu
khalifah-khalifah yang terdahulu.
Diantara ajaran Abdullah Bin Saba’
adalah :
- Al-Wishayah.
Arti
al-wishayah adalah wasiat. Nabi Muhammad Saw berwasiat supaya khalifah (Imam)
sesudah beliau ialah saidina Ali Kw,saidina Ali terkadang-kadang digelari
mereka “AL- WASHIY”, yaitu orang yang diberi wasiat.
- Ar-Raj’ah.
Artii
Ar-Raj’ah adalah kembali. Bin Saba’
mengajarkan bahwa nabi Muhammad Saw, tidak boleh kalah dari nabi Isa
‘alaihissalam, kalau nabi isa kembali pada akhir zaman untuk menegakkan
keadilan, maka nabi Muhammad lebih patut untuk kembali di akhir zaman untuk
menegakkan keadilan. Ia tidak percaya bahwa saidina Ali mati terbunuh, beliau
masih hidup katanya.
Berkata
seorang ahli tarikh, ibnu hazm : “Bin Saba’ mengatakan pada ketika dikabarkan
kepadanya bahwa saidina Ali kena meninggal kena tusuk, ia berkata :” kalau kamu
bawa otaknya seribu kali kemari, saya tidak percaya bahwa ia telah meninggal.
Ia belum mati sebelum ia memenuhi dunia ini dengan keadilan sebagaimana telah
dipenuhi orang dengan kezaliman.
Abdullah Bin
Saba’ mengajarkan bahwa saidina Ali belum mati tetapi bersembunyi dan akan
kembali pada akhir zaman.
Ajaran ini
dibawanya dari kepercayaan kaum yahudi yang mengajarkan bahwa nabi ilyas juga
belum mati. Ajaran Abdullah Bin Saba’ inilah yang kemudian menjadi ajaran
Syi’ah bahwa seorang imamnya yang penghabisan belum mati, sekarang sedang
bersembunyi dan akan kembali di akhir zaman untuk menegakkan keadilan dan
kebenaran (lihat kitab Fajar Islam karangan Ahmad Amin, hal : 270).
- Ketuhanan ‘Ali.
Ibnu saba’
juga mengajarkan bahwa dalam tubuh Ali bersemayam unsure ketuhanan yang sudah
bersatu padu dengan tubuh Ali, karena itu beliau mengetahui segala yang ghaib,
karena itu selalu menang di dalam perang melawan orang kafir, suara petir
adalah suara ‘Ali dan kilat adalah senyuman ‘Ali.
Pendeknya
saidina ‘Ali Rda. Diangkat oleh Ibnu Saba’ dan oleh orang-orang syiah diatas
kedudukan Tuhan, Na’uzubillahi.
Nah, Ibnu
saba’ inilah yang menaburkan faham Syi’ah yaitu yang keterlaluan dalam
mengagungkan Saidina ‘Ali.
Timbul rasa
malu sewaktu melihat pendapat-pendapat Ibnu saba’ ini, maka sebahagian kaum syi’ah mengatakan
bahwa Bin Saba’ itu sebenarnya orangnya tidak ada, kabar itu hanya dibuat-buat
saja oleh orang-orang yang anti syi’ah, tetapi menurut - Ahmad Amin - , keingkaran orang-orang syi’ah
sekarang tidak beralasan, karena kitab-kitab lama sejarah islam menjelaskan
adanya Abdullah Bin Saba’. Kaum syi’ah mendustakan adanya Ibnu Saba’ karena malu
melihat ajaran-ajarannya yang keji ini.
Tetapi
pengarang kitab “Syarah Nahjul Balaghah”, ibnu habil hadid, seorang ulama dan
pengarang ulung dari kaum syi’ah/mu’tazilah, wafat tahun 656 H. mengakui adanya
Bin Saba’ ini adalah seorang pendeta Yahudi yang masuk islam yang mengobarkan
faham syi’ah sabaiyah (lihat syarah nahjul balaghah juzu’ VIII, hal : 120).
Dan diantara
gembong syi’ah sabaiyah ini terdapat seorang yang bernama Mugirah Bin Sa’id
yang menfatwakan bahwa zat Tuhan bersemayam di dalam tubuh saidina Ali Kw,
beliau dapat menghidupkan kembali ‘Ad dan Tsamud.
Dan juga
terdapat seorang gembong syi’ah yang bernama Ishaq Bin Zaid yang menfatwakan,
bahwa orang-orang syi’ah yang sudah sampai ke derajat tinggi sudah habis taklif
baginya, yaitu tidak perlu sembahyang, puasa dan lain-lain (lihat syarah najlul
balaghah, juzu’ VIII, hal : 122).
Boleh
dipastikan bahwa Bin saba’ penggerak perama dan yang utama dalam hal
memberontak terhadap khalifah ketiga Saidina Utsman Bin ‘Affan Rda.
Nasib Bin
Saba’ ini pada akhir hayatnya menjadi orang buangan yang dibuang saidina Ali
Kw, sesudah beliau menjadi khalifah.
Pada suatu
hari ia datang kepada saidina ‘Ali dan mengatakan kepada beliau :”Anta, anta”
(engkau-engkau) ya’ni : engkaulah yang Tuhan.
Saidina Ali
marah kepadanya dan ditangkap, lalu dibuang ke Madain (lihat Al Milal Wan Nihal
Juz, 1, Hal : 174).
8.
Gerakan Syi’ah Pada Masa 3 Orang Khalifah.
Dapat dipastikan sekali lagi bahwa
pada zaman khalifah Abu Bakar Rda, yaitu dari tahun 11 H sampai tahun 13 H,
begitu juga pada zaman khalifah saidina Umar Bin Khatab yaitu dari tahun 13 H
sampai tahun 23 H. gerakan dan faham syi’ah tidak ada, karena zaman itu adalah
zaman yang paling dekat dengan Rasulullah Saw, orang-orangnya adalah sahabat
nabi yang berilmu yang tidak mudah dikotak katik oleh faham sesat. Para sahabat
yang terkemuka dan Jumhur Ulama islam (jumhur artinya orang-orang pembesar yang
banyak) tidak menerima faham syi’ah ini. Apalagi faham yang menentang saidina
Abu Bakar Shiddiq dan saidina Umar Bin Khatab Rda.
Mereka semuanya berpendapat bahwa
pengangkatan khalifah Abu Bakar adalah sah, pengangkatan saidina Umar adalah
sah, dan pengangkatan saidina Utsman juga sah. Dan nabi Muhammad Saw tidak
pernah berwasiat tentang siapa yang akan ganti beliau ketika berpulang ke
rahmatullah.
Beliau berpendapat bahwa
pengangkatan khalifah dengan cara “syura”, cara musyawarah pada pertemuan
saqifah bani sa’idah adalah sesuai dengan tuntunan islam, yaitu “musyawarah”
yang dituntut oleh agama dalam Al-Qur’an surat Syura ayat 38.
Khalifah
berganti dari saidina umar bin khatab kepada saidina utsman bin affan dari
tahun 25 H. Sampai 35 H. Saidina Utsman bin Affan adalah seorang yang saleh,
yang sibuk bukan saja mengatur negara dan pemerintahan tetapi juga sibuk
mengumpulkan ayat-ayat suci sehingga dijadikan dalam satu mashaf yang sampai
sekarang dinamai dengan mashaf ustmani Rda, sebagai kitab suci yang ada sampai
sekarang.
Pada
5 tahun yang akhir dari kekuasaan saidina Utsman bin Affan, yaitu dari tahun 30
H. Sampai 35 H. Faham Syi’ah muncul dan agak mendapat pasaran juga.
Maka
berkobar-kobarlah faham anti utsman, dan anti khalifah-khalifah yang sebelum
saidina Utsman.
Mereka
mengatakan yang bahwa yang berhak menjadi khalifah sesudah wafatnya nabi Saw
adalah Saidina Ali Kw, kata mereka “Abu Bakar telah merampas hak khalifah yang
sah, begitu juga pengganti-penggantinya yaitu Umar dan Utsman Rda.
Mereka
kaum syi’ah tidak mau mengucapkan “Radhiyallahu ‘anhu” untuk Abu Bakar, Umar
dan Utsman, tetapi mereka mengutuk ketiga khalifah itu dengan mengatakan
“Qatalallahu man qatala ahlil bait”, artinya : Allah akan mengutuk orang-orang
yang memerangi keluarga nabi.
Mereka
menuduh bahwa Abu bakar, Umar dan Utsman adalah orang-orang yang memerangi
keluarga nabi (memerangi ahlil bait).
Abdullah
Bin Saba’ adalah seorang pendeta yahudi yang masuk islam yang memberontak
melawan khalifah saidina Utsman dan membunuh Saidina Utsman pada tahun 35
Hijriyah.
9.
Saidina Ali Diangkat
Menjadi Khalifah.
Pada ketika itu setelah
khalifah yang ketiga mati terbunuh oleh kaum Syi’ah, maka kaum pemberontak tersebut,
begitu juga dengan kaum yang tidak memberontak, sepakat untuk mengangkat
Saidina Ali menjadi khalifah yang ke empat.
Saidina Ali bagi kaum syi’ah
adalah khalifah yang pertama, karena mereka tidak mengakui khalifah-khalifah
yang sebelumnya, tetapi bagi Ummat Islam, kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah, saidina
Ali adalah khalifah yang ke empat.
Saidina Ali Kw, bagi kaum
Ahlussunnah Wal Jama’ah tidaklah
dianggap sebagai orang yang bersalah, karena saidina Ali mengakui dan
memberikan suara kepada khalifah-khalifah sebelumnya, beliau bukanlah Syi’ah.
Hanya kaum syi’ah saja yang
mengangung-agungkan beliau melebihi dari semestinya, umpamanya dikatakan
Saidina Ali itu adalah Imam yang mendapat wahyu langsung dari Tuhan, Imam yang
berpangkat kenabian dan bahkan ada sebahagian kaum syi’ah yang mengatakan bahwa
beliau pada hakikatnya adalah nabi yang dituju oleh Tuhan, tetapi malaikat
jibril tersalah memberikan wahyu sehingga diturunkannya kepada Muhammad.
Maka khalifah pada saat itu
dipegang oleh Saidina Ali Kw, dari tahun 35 H. Sampai 40 H.
Pada masa khlifah Saidina Ali
inilah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
10.
Golongan-golongan
Yang Timbul Pada Zaman Saidina Ali Kw,
Pada masa pemerintahan Saidina
Ali Kw, terjadi hal-hal yang sangat mengecewakan Ummat Islam, bukan disebabkan
leh Saidina Ali, tetapi karena situasi dan kehendak sejarah yang sudah akan
berjalan sedemikian rupa.
Ada 4 golongan :
- Golongan syi’ah dan sebahagian orang madinah yang mendukung pengangkatan khalifah Saidina Ali.
- Golongan saidina Mu’awiyah Ibnu Abi Sofyan, yang tidak mengakui khalifah Ali dan menganggap saidina Ali bersalah dan ikutu campur dalam pembunuhan terhadap saidina Utsman. Golongan Saidina Mu’awiyah di syriya ini mengangkat Saidina Mu’awiyah menjadi khalifah pengganti Utsman bin Affan. Maka terjadilah dua orang khalifah, yang satu di Madinah yaitu Saidina Ali dan yang satunya lagi di Syria yaitu Saidina Mu’awiyah Rda.
- Golongan ketiga yang dikepalai oleh Siti Aisyah Ummul Mu’minin, golongan ini tidak mengakui pengangkatan Saidina Ali karena pengangkatan secara paksaan, dan tidak menyalahkan pula saidina Ali dalam soal pembunuhan Saidina Utsman, khalifah yang ketiga.
- Golongan keempat yang dikepalai oleh Abdullah bin Umar anak saidina Umar Bin Khatab (khalifah yang kedua), dan diikuti oleh beberapa sahabat-sahabat yang lainnya, golongan ini tidak ikut dalam mengangkat Saidina Ali sebagai khalifah, tidak menyalahkan Saidina Ali dalam pembunuhan terhadap Utsman Bin Affan dan juga tidak ikut dalam mendukung Saidina Mu’awiyah di damaskus. mereka lebih suka menjauhi dari politik.
Namun
semua firqah ini semuanya benar, tidak boleh kita menyalahkan salah satu antara
mereka, kecuali kaum syi’ah la’natillah ‘alaih.
Hanya
saja terjadi perselisihan antara firqah-firqah ini karena disebabkan kesalah fahaman
terhadap pembunuhan saidina Utsman oleh kaum Syi’ah, mereka semua merupakan
sahabat rasulullah, dimana apabila hasil ijtihad (pemahaman mereka) benar maka
Allah akan memberikan dua pahala, namun bila hasil ijtihad mereka salah maka
Allah akan memberikan satu pahala.
11.
Peperangan Sesama
Islam.
Khalifah
yang keempat yaitu Saidina Ali Kw, menghadapi tugas yang sangat berat sekali,
beliau bukan saja menghadapi soal-soal negara, soal-soal pertahan dan perluasan
islam, tetapi juga persoalan perpecahan antar islam di dalam negeri.
Maka
terjadilah peperangan yang dinamakan dengan “Perang Jamal”, yaitu antara
tentara saidina Ali dengan tentara siti ‘Aisyah.
Peperangan
ini terjadi pada tahun 36 H., yaitu setahun sesudah saidina ‘Ali menjabat
pangkat khalifah, peperangan ini dinamai dengan “peperangan jamal (onta)”
karena para tentara siti Aisyah mengutus laskarnya dengan mengendari onta.
Peperangan
ini bukanlah suatu peperangan yang kecil, Saidina Ali memebawa tentaranya
sebanyak 200.000 orang, dan siti Aisyah juga membawa tentaranya dengan jumlah
yang sama.
Akhirnya
siti Aisyah kalah, dan beliau ditahan oleh Saidina Ali. Tetapi walaupun siti
Aisyah ditawan oleh Saidina Ali, namun beliau tidak dijadikan orang tawanan,
tetapi dihormati sebagai ibu dan diantar kembali ke Mekkah dengan segala
kehormatan.
Menanggapi peperangan jamal ini terjadi
perselisihan antara kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah dengan kaum syi’ah.
Kaum
Ahlussunnah berpendapat bahwa perselisihan faham antara Saidina Ali dan Ummul
Mu’minin siti Aisyah adalah perselisihan antara Imam Mujtahid dengan Imam
Mujtahid, yang dijamin oleh nabi dalam sebuah hadist bahwa yang ijtihadnya
betul dapat dua pahala dan kalau ijtihadnya tersalah maka dapat satu pahala.
Kelanjutan
dari faham ini bahwa sekaalian yang meninggal dalam “peperangan jamal” baik
laskar Saidina Ali atau laskar Siti Aisyah kedua-duanya mati syahid dan masuk
syurga yang sama, karena setiap keduanya mempertahankan kebenaran agama yang
didapat oleh ijtihadnya masing-masing.
Tetapi
kaum syi’ah imamiyah berfatwa bahwa sekalian orang yang ikut perang jamal di
pihak Siti Aisyah kafir, baik pemimipinnya ataupun anak buahnya, karena mereka
memberontak kepada khalifah yang sah yaitu Saidina Ali.
Dan
sebahagian kaum syi’ah mu’tazilah berpendapat bahwa sekalian yang dipihak Siti
Aisyah adalah salah, akan dimasukkan ke dalam neraka, kecuali orang yang taubat
kemudian. Siti Aisyah, Thalhah dan Zubeir adalah orang yang sudah bertaubat
kemudian dan membai’ah kepada Saidina Ali, oleh karena itu ketiga sahabat ini
masuk syurga sedangkan anak buahnya masuk neraka.
Faham
yang benar adalah faham kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah yang membenarkan
perselisihan ijtihad itu.
Berkata
Ibnu Ruslan, seorang ulama Syafi’iyyah golongan Ahlussunnah dalam kitab zubad
yang masyhur :
وما جرى بين الصحابى نسكت * عنه واجر الاجتهاد نثبت
Artinya
:”apa yang terjadi antara sahabat-sahabat nabi lebih baik kita diam, tidak
memperbincangkannya dengan mendalam, tetapi pahala ijtihad kita tetapkan
didapat oleh kedua belah pihak.
Berkata
imamul Haramain, seorang ulama sunni dan guru Imam Ghazali setelah beliau
mendengar orang syi’ah memperbincangkan peperangan-peperangan antara para
sahabat dan mengutuk salah satu pihak yang bertentangan :
“bahwasanya Rasulullah Saw melarang hal ini, nabi berkata : jauhilah olehmu memperbincang-bincangkan apa yang terjadi antara sahabatku.
Dan
beliau berkata lagi : biarkanlah saya mengurus sahabat-sahabat saya itu, kalau
kamu nafkahkan emas sebesar bukit Uhud engkau belum dapat menyamai mereka atau
menyamai setengah mereka, dan berkata nabi : sahabat-sahabat ku serupa bintang,
yang mana saja kamu ikut itu sudah baik, kamu akan mendapat hidayah karena
mengikutinya.
Dan
berkata nabi : kurun yang baik adalah kurun saya, sesudah itu yang
dibelakangnya, yang dibelakangnya lagi dan seterusnya lagi.
Sesungguhnya
telah diriwayatkan, bahwa Syaikh Hasan Bashri tatkala diingatkan orang kepada
beliau tentang “peperangan jamal”, beliau berkata : itu adalah darah yang tuhan
telah menjauhkan dari pedang kita, dan karena itu janganlah dikotori lagi lidah
kita dengan darah itu.
Kesimpulan
: Kaum Ahlussunnah menahan diri dan menahan lidah tentang soal ini yang terjadi
diantara sahabat-sahabat yang mulia, dan menetapkan bahwa persengketaan itu
dilakukan menurut ijtihad mereka masing-masing,dimana kalau ijtihad mereka
benar disisi Allah maka mereka mendapat dua pahala, dan kalau salah disisi
Allah maka mereka mendapat satu pahala.
Tetapi
kaum Syi’ah tetap bersikeras, mereka mengatakan Saidina Mu’awiyah dan siti
Aisyah beserta tentara-tentara mereka semuanya bersalah, kaum syi’ah mengatakan
kepada mereka dengan sebutan “iblis yang boleh dikutuk, na’uzubiillah !!
12.
Peperangan Siffin.
Kemudian
pada tahun 37 H. Terjadilah apa yang dinamakan dengan “peperangan Siffin” yang
terkenal, diantara Saidina Ali dan pasukan Mu’awiyah di suatu tempat di Iraq
yang bernama “Siffin”.
Peperangan
ini besar juga, terbukti dengan banyaknya korban, di pihak Saidina Ali, gugur
laki-laki 25.000 orang dan di pihak Saidina Mu’awiyah gugur laki-laki 45.000
orang.
Inilah
suatu musibah yang besar bagi ummat Islam pada abad-abad yang pertama.
Jalannya
peperangan ini menguntungkan Saidina Ali, hampir seluruh pasukan Saidina
Mu’awiyah mundur dari peperangan, akan tetapi mereka menjalankan siasat, yaitu
menyerukan “perhentian tembak menembak”, mereka mengikatkan beberapa ayat suci
Al-Qur’an di ujung tombak mereka dan mengangkatkan keatas sambil meneriakkan
perhentian tembak menembak dan berhukum kepada Al-Qur’an.
Saidina
Ali pada mulanya tidak mau menerima ajakan ini, karena beliau tau hal itu
adalah suatu siasat dari orang yang hampir kalah, minta menghentikan peperangan
sebentar untuk menyusun kekuatan kembali.
Tetapi
Saidina Ali didesak oleh sebahagian tentaranya, sehingga ada yang mengatakan
kepada beliau “kenapa kita tidak mau berhukum kepada Al-Qur’an ?”.
Akhirnya
Saidina Ali menerima tawaran “perhentian tembak menembak”, dan berhentilah
peperangan, pasukan saidina Ali pulang ke baghdad dan pasukan saidina Mu’awiyah
pulang ke damaskus.
Disusunlah
delegasi kedua belah pihak untuk melanjutkan perundingan, pihak Saidina Ali
menyusun delegasi dibawah pimpinan Abu Musa Al-Asy’ari, dan pihak saidina
Mu’awiyah menyusun delegasi dibawah pimpinan ‘Amru Bin ‘Ash.
13.
Kaum Khawarij Sejak
Itu Timbul.
Tetapi
disayangkan lagi, ketika itu ada sebahagian pasukan saidina Ali yang berbelot,
mereka tidak menyukai berhukum kepada Al-Qur’an sebagai yang diserukan oleh
pasukan Saidina Mu’awiyah karena mereka berfaham :
- Berhukum kepada Al-Qur’an itu hanyalah ucapan bibir saja, tetapi pada hakikatnya mereka akan berhukum kepada delegasi yang berunding.
- Menerima perhentian tembak menembak itu berarti ragu atas kebenaran pendirian. Kita pada mulanya meyakini bahwa pendirian kita ini benar dan peperangan kita ini berjalan diatas kebenaran, demi menegakkan kebenaran dan keadilan, tetapi setelah kita mau berhenti dan setelah kita mau berhukum kepada delegasi maka berarti kitra ragu atas pendirian kita, demikian kata kaum khawarij.
- Orang yang ragu-ragu itu tidak berhak menjadi Imam, kata mereka.
Golongan
ini bernama “kaum khawarij”,rtinya orang yang keluar dari kedua belah pihak.
Mereka
keluar dari pihak Saidina Ali dan juga keluar dari pihak Saidina Mu’awiyah,
mereka membenci kedua-duanya. Inilah asala usul timbulnya kaum khawarij.
14.
Masalah Tahkim.
Kita
lanjutkan masalah Tahkim.
Lalu
diadakan “Majlis Tahkim” yaitu sebuah badan yang akan menyelesaikan pertikaian
antara Saidina ‘Ali dengan Saidina Mu’awiyah Rda, setiap delegasi memounyai 100
orang anggota.
Kelompok
Saidina Mu’awiyah diketuai oleh ‘Amru Bin ‘Ash, seorang ahli siasat yang
pandai, sedangkan kelompok Saidina ‘Ali diketuai oleh Abu Musa Al-Asy’ari,
seorang sahabat yang saleh.
‘Amru
Bin ‘Ash mengusulkan demi untuk mencapai perdamaian yang sebaik-baiknya bagi
Ummat Islam dan supaya jangan tertumpah lagi darah ummat islam, kiranya
kedua-duanya (‘Ali dan Mu’awiyah) diberhentikan lebih dahulu dan diserahkan
kepada ummat Islam untuk mencari penggantinya. Usul ini diterima oleh utusan
Saidina ‘Ali, yaitu Abu Musa Al-Asy’ari.
Dalam
suatu rapat yang dihadiri oleh ribuan kaum Muslimin di Daumatul Jandal, Iraq,
keputusan ini diumumkan. ‘Amru Bin ‘Ash minta kepada Abu Musa untuk berpidato
terlebih dahulu karena usia beliau lebih tua, tujuan untuk mengumumkan bahwa
khalifah Saidina ‘Ali telah diberhentikan oleh majelis Tahkim. Abu Musa
mengikuti saja dan terus berpidato menerangkan bahwa ia adalah seorang anggota
majelis Tahkim di pihak Saidina ‘Ali, dengan disaksikan oleh ummat Islam yang
banyak hadir ketika itu memperhentikan ‘Ali Bin Abi Thalib dari jabatannya sebagai
khalifah dan menyerahkan pemilihan gantinya kepada ummat Islam.
Setelah
itu ‘Amru Bin ‘Ash tampil ke atas podium dengan tujuan semula untuk
menyampaikan kepada Ummat islam bahwa Saidina Mu’awiyah juga diberhentikan,
namun setibanya di atas podium ia bukan mengatakan hal itu, tetapi ia berkata
:”hai seluruh Ummat islam, saudara telah mendengar tadi yang bahwa Saidina ‘Ali
sekarang sudah diberhentikan oleh utusannya sendiri, maka sekarang yang tinggal
hanya satu khalifah yaitu Saidina Mu;awiyah, maka tha’atilah ia bersama-sama.
Akhirnya
permusuhan dan peperangan timbul kembali, sdangkan orang-orang khawarij tambah
marah menyalahkan Saidina ‘Ali karena menerima Tahkim dan mengutuk Saidina
Mu’awiyah.
15.
Saidina ‘Ali Mati
Terbunuh.
Permusuhan
dan perlawanan antara golongan Saidina ‘Ali dan Saidina Mu’awiyah berjalan
terus.
Pada
tahun 40 Hijriyah, sesudah 5 tahun Saidina ‘Ali menjadi khalifah, kaum khawarij
yang jahat itu mengadakan komplotan untuk membunuh Saidina ‘ali dan Saidina
Mu’awiyah sekaligus. Begitu juga diputuskan untuk membunuh ‘Amru Bin ‘Ash,
yaitu ketua kelompok Saidina Mu’awiyah yang dianggap oleh mereka sebagai penipu
yang jahat.
Mereka
mengutus Abdurrahman Bin Muljam untuk membunuh Saidina ‘Ali, dan mengutus
Al-Barak untuk membunuh Saidina Mu’awiyah, dan mengutus Umar Bin Bakir untuk
membunuh ‘Amru Bin ‘Ash. Pembunuhan telah diatur, yaitu pada waktu subuh yang
sama tanggalnya 17 ramadhan 40 H, pada ketika itu beliau-beliau itu keluar
hendak sembahyang subuh ke mesjid.
Qadar
Ilahi berlaku, bahwa Saidina ‘Ali dapat ditikam oleh Abdurrahman Bin Muljam
pada waktu subuh ketika beliau keluar hendak pergi sembahyang ke mesjid,
sedangkan Mu’awiyah dan ‘Amru Bin ‘Ash tak dapat dibunuh.
Saidina
‘Ali Bin Abi Thalib meninggal 17 Ramadhan tahun 40 H. Dan dimakamkan di najf,
Baghdad.
“Allah
Yarham, semoga Allah mengasihi beliau”.
16.
Saidina Hasan
Pengganti Saidina ‘Ali.
Saidina
Hasan Bin ‘Ali Bin Abi Thalib diangkat oleh ummat islam sebagai khalifah yang
ke 4 pengganti ayahnya saidina ‘Ali Bin Abi Thalib. Akan tetapi sesudah dua
bulan diangkat ia menyerahkan jabatan khalifah itu kepada Saidina Mu’awiyah Bin
Abi Sofyan, demi menjaga kesatuan ummat islam dan demi menjaga agar darah ummat
islam jangan tertumpah lagi dalam perang saudara terus menerus.
Saidina
Hasan Bin ‘Ali seorang kesatria yang mencintai Islam dan muslimin dengan
sepenuh hatinya, ia melepaskan haknya sebagai khalifah demi keutuhan dan
kesatuan ummat islam. Hal ini sangat pahit bagi golongan syi’ah karena mereka
dikalahkan tanpa peerjuangan.
Penyerahan
kekuasaan dari Saidina Hasan kepada Mu’awiyah juga pukulan yang sangat besar
bagi kaum Syi’ah, tetapi apa boleh buat karena Imam yang mereka anggap sudah
bertindak begitu. Oleh karena itu kaum Syi’ah sangat membenci saidina Mu’awiyah
dan seluruh Bani Umayyah, karena Saidina Mu’awiyah dari suku Umayyah.
Maka
terdapatlah 3 golongan pada ketika itu, yaitu :
- Golongan terbesar, yaitu golongan yang mengikut saidina Mu’awiyah Rda, yang menganggap beliau adalah khalifah yang ke 5 yang sah, golongan ini banyak berada di Damsyik, Mekkah, Madinah, dan di mesir, dan di kota-kota lain ummat islam.
- golongan syi’ah, yaitu golongan yang tidak mengakui Mu’awiyah sebagai khalifah yang kelima, tetapi mengangkat secara diam-diam saidina Husein (saudara khalifah Hasan) sebagai khalifah yang ke 3, golongan ini banyak berada di Iraq, di Bashrah dan di Kuffah.
- golongan yang ke 3 adalah golongan kaum khawarij, yaitu golongan yang anti Saidina Mu’awiyah dan anti kaum syi’ah. Goglongan ini banyak bertebaran di bahagian wilayah islam di Iraq dan di Persia.
17.
Mu’awiyah Khalifah
Yang Kelima.
Pemerintah
Saidina Mu’awiyah Bin Abi Sofyan dari bani Umayyah yang berkedudukan di damaskus
berjalan selama 20 tahun, yaitu dari tahun 40 H, sampai 60 H. Selama beliau
memerintah, agama Islam bertambah meluas sampai-sampai ke barat dan ke timur.
Pada
ketika agama Islam sampai ke indonesia, ke Tiongkok dan ke berbagia penjuru
daerah. Tetapi kaum khawarij di dalam daerah diburu, ditangkap dan dibunuh.
Pada
waktu beliau hampir meninggal tahun 60 H. Beliau mewariskan jabatan khalifahnya
kepada anaknya, yang bernama Yazid Bin Mu’awiyah, seorang anak yang tidak
begitu tha’at kepada agama.
18.
Kekuasaan Yazid Bin
Mu’awiyah dan Peristiwa Karabela.
Yazid
berkuasa dari tahun 60 H. Sampai 63 H, yaitu 3 tahun saja. dalam masanya ini
terjadilah “peristiwa karabela” yang termasyhur. Yazid sangat dendam kepada
Saidina Husein Bin ‘Ali Bin Abi Thalib, cucu nabi, anak Siti fathimah Rda.
Pada
suatu hari Yazid memerintahkan panglimanya ‘Ubaidillah Bin Ziyaduntuk membunuh
Saidina Husein Bin ‘Ali Bin Abi Thalib. Mereka berjumpa di karabela, sebuah
tempat antara Iraq dan Persia (sekarang di bawah pemerintah Iraq). Perkelahian
terjadi antara Saidina Husein Bin ‘Ali bersama kawannya sebanyak 80 orang
dengan Ubaidillah Bin ziyad dan pasukannya yang berpuluh kali lipat banyaknya
dibandingkan dengan kawan Saidina Husein.
Saidina
Husein dan kawannya dibunuh semua. Kepala Saidina Husein dikirim ke Damaskus
oleh ‘Ubaidillah Bin Ziyad sebagai tanda bagi majikannya bahwa tugasnya telah
diselesaikan. Hal ini terjadi pada tahun 61 Hijriyah.
Peristiwa
karabela ini diperingati setiap tahun oleh kaum Syi’ah diseluruh dunia sampai
sekarang sebagai belasungkawa atas kematian Saidina Husein.
Yazid
Bin Mu’awiyah berkuasa penuh karena musuh-musuhnya semuanya sudah musnah,
tetapi golongan syi’ah sangat mendendam, mereka melakukan aksi-aksi di bawah
tanah yang tak dapat dipadami, mereka mengangkat imam-imam mereka secara
tersembunyi, mereka membiasakan diri dengan gerakan-gerakan rahasia di bawah
tanah.
19.
Mulanya Soal Politik
Kemudian Menjadi Soal I’tiqad.
Kalau
kita perhatikan sepintas lalu sejarah ringkas ini teranglah bahwa asal mulanya
hanya soal politik, soal khalifah dan soal imam, akan tetapi kemudian menjadi
soal I’tiqad dan soal kepercayaan. Ini tidak boleh heran karena antara agama
dan politik di dalam islam sulit untuk dipisahkan, soal-soal kepala negara dan
khalifah bukanlah soal politik semata, tetapi juga menyangkut dengan masalah
agama, soal perang dan damai bukanlah soal polotik melulu, tetapi juga soal
keyakinan agama dalam bab “perang sabil”. Soal zakat dan soal perniagaan, soal
harta peninggalan bukanlah hanya soal masyarakat saja, tetapi juga menyangkut
dengan soal keyakinan agama juga. Apalagi pada abad-abad permulaan islam,
dimana kekuasaaan islam sangat terasa, dan hukum yang berlaku seluruhnya hukum
islam.
Kaum
syi’ah mendasarkan pengabdiannya kepada “imam”. Imam mereka diangkat oleh nabi
Muhammad, kata mereka.
Karena
itu tidak boleh dibantah dengan hukum syara’, siapa yang membantah wajib
dilawan dan diperangi.
Golongan
khawarij juga begitu, mereka jengkel dalam soal “tahkim”. Menurut mereka tahkim
itu bertentangan dengan agama, dan orang-orang yang menerima tahkim itu berarti
melawan hukum agama dan wajib untuk dilawan, kata mereka.
Pendeknya
bagi orang islam pada abad-abad permulaannya tidak berbeda antara agama dan
politik. Agama ialah politik dan politik ialah agama. Semuanya dari Tuhan turun
ke nabi, agama tidak boleh dipisahkan dari negara.
20.
Golongan-Golongan
Dalam Kaum Syi’ah.
Untuk
menggambarkan gerakan syi’ah keseluruhannya baiklah kami terangkan bahwa syi’ah
itu telah berpecah sampai 22 golongan, antaranya :
- Syi’ah sabaiyah, yaitu syi’ah pengikut Abdullah Bin Saba’. Golongan syi’ah sabaiyah ini termasuk golongan syi’ah yang “gullat”, artinya syi’ah yang keterlaluan, yang berlebih-lebihan, yang mempercayai bahwa nabi Muhammad akan kembali ke dunia seperti nabi Isa, bahwa Saidina Ali belum mati tetapi bersembunyi dan akan lahir ke dunia kembali, bahwa jibril tersalah menurunkan wahyu yang seharusnya diturunkan kepada Ali lantas diberikannya kepada Muhammad, bahwa petir dan kilat adalah suara saidina Ali yang sedang marah, bahwa ruh Tuhan turun kepada Ali dan lain-lain. I’tiqad yang ganjil-ganjil.
- Syi’ah kaisaniah, yaitu syi’ah pengikut mukhtar bin ubay as-saqafi. Golongan ini tidak mempercayai adanya ruh Tuhan dalam tubuh saidina Ali, tetapi mereka yakin seyakin-yakinnya bahwa imam-imam orang syi’ah adalah Ma’shum (sama dengan nabi-nabi) dan masih keturunan wahyu.
- Syi’ah Imamiyah, yaitu golongan syi’ah yang percaya kepada imam-imam yang ditunjuk langsung oleh nabi Muhammad saw. Yaitu saidina Ali sampai 12 orang keturunannya. Syi’ah macam ini berkuasa di Iran. Syi’ah Imamiyah percaya pada 12 Imam, pertama Saidina Ali dan yang ke 12 adalah Al-Mahdi, seorang imam yang lenyap dan akan keluar pada akhir zaman. Sayid Jamaluddin al-afgani, guru Muhammad Abduh, adalah seorang penganut faham syi’ah imamiyah dari persi ini.
- Syi’ah Isma’iliyah, yaitu syi’ah yang mempercayai hanya 7 orang imam, yaitu pertama Saidina Ali dan akhirnya Isma’il Bin Ja’far Ash-Shaddiq yang lenyap dan akan keluar pada akhir zaman. Syi’ah ini banyak terdapat di pakistan, murid aga khan.
- Syi’ah Zaidiyah, yaitu syi’ah pengikut imam zaid bin ali bin husein bin ali bin abi thalib. Syi’ah zaidiyah ini berada di yaman. Syi’ah zaidiyah ini adalah syi’ah sederhana bukan gullat. Mereka tidak mengkafirkan Saidina Abu Bakar, Umar, dan Utsman Rda, tetapi mereka berkeyakinan bahwa Saidina Ali lebih mulia dari abu Bakar. Syi’ah zaidiyah beri’tiqad bahwa orang muslim yang mengerjakan dosa besar, kalau mati sebelum taubat maka ia kafir, kekal dalam neraka. Tersebut dalam kitab “Dzuhurul Islam karangan Ahmad Amin, pada juzu’ ke 4”. “imam kaum zaidiyah zaid bin ali adalah murid dari Washil Bin ‘Atha, pemimpin kaum mu’tazilah dalam Ushuluddin. Oleh karena itu mazhab zaidiyah mendekati mazhab mu’tazilah. Menurut syharstani, bahwa sekalian murid zaid adalah berfaham mu’tazilah. Orang-orang zaidiyah banyak mengarang kitab-kitab ushuluddin, hadist dan fiqih yang khusus bagi mereka. Salah seorang imamnya yang masyhur dalam abad terakhir ialah imam Syaukani yang banyak mengarang kitab dalam ushuluddin dan fiqih. Demikianlah tersebut dalam kitab “Dzuhurul Islam”. Imam Syaukani ini adalah Muhammad Bin Ali Bin Muhammad Asy-Syaukani, wafat 1255 H. Yaitu pengarang kitab “Nailul Authar”, yang banyak tersiar di Indonesia. Karena itu berhati-hatilah membaca “nailul authar”, karena pengarangnya adalah seorang ulama syi’ah zaidiyah.
- Syi’ah Qaramithah, yaitu kaum syi’ah yang suka menafsirkan Qur’an sesuka hatinya saja. Mereka mengatakan bahwa malaikat-malaikat adalah muballigh, syaithan-syaithan adalah musuh mereka, yang dinamakan sembahyang ialah mengikut mereka, yang dinamakan haji adalah ziarah kepada imam, yang dinamakan puasa ialah tidak membuka rahasia iman, dan orang-orang yang sudah mengetahui Allah sedalam-dalamnya tidak perlu sembahyang, puasa, dan lain-lain ibadat lagi, dan lain-lain fatwa yang sangat keliru. Pendeknya ayat-ayat suci Al-Qur’an mereka ta’wilkan semau-maunya saja.
- Dan lain-lain golongan dalam Syi’ah. Golongan syi’ah lumayan banyak namundisini tidak kami paparkan semuanya, tapi kami cukupkan sedemikian saja,karenagolongan inilah yang termasyhur di kalangan ummat Islam
Posting Komentar
jangan lupa di coment !!!!