Al-Banjari adalah seorang ulama besar yang
sangat berpengaruh dan berperan penting dalam sejarah islam, khususnya di
Kalimantan. Ia gigih mempertahankan dan mengembangkan paham Ahlussunnah
Wal-Jama’ah dengan teologi Asy’ariyah dan fiqih mazhab Syafi’I, di kesultanan
banjar ia pernah memangku jabatan mufti (penasehat agama), ia sangat banyak
menulis kitab-kitab agama.
Al-Banjari lahir di Lok Gabang, Martapura,
Kalimantan Selatan pada 15 Safar 1122/ 19 Maret
1710, ia adalah putra tertua dari lima bersaudara, buah perkawinan
Abdullah dengan Siti Aminah,
setelah wafat ia juga terkenal dengan sebutan “Datuk Kalampayan” ini disebabkan karena makamnya yang berlokasi di desa kalampayan (sekitar 56 km dari kotamadya Banjarmasin).
setelah wafat ia juga terkenal dengan sebutan “Datuk Kalampayan” ini disebabkan karena makamnya yang berlokasi di desa kalampayan (sekitar 56 km dari kotamadya Banjarmasin).
Pendidikannya dimulai di lingkungan keluarganya
yang dikenal ta’at, ketika ia berusia sekitar 7 tahun sultan Tahlilullah
(1700-1745), penguasa kesultanan banjar, meminta kepada orang tua al banjari
agar mereka bersedia menyerahkannya untuk dididik istana sekaligus diangkat
sebagai anak angkat sultan, sultan tertarik karena kecerdasan dan
keterampilannya yang diketahui sultan ketika melakukan kunjungan kerja ke lok
gabang. Meskipun agak berat, Abdullah dan Aminah tidak dapat menolak maksud
baik sultan. Al-Banjari diserahkan, selanjutnya
tinggal di istana beserta keluarga istana lainnya. Disini ia memperoleh
pendidikan dari guru-guru yang didatangkan sultan ke istana.
Ketika al-Banjari berusia sekitar 30 tahun,
sultan mengirimnya ke Mekkah untuk menuntut ilmu dengan biaya kerajaan. Sebelum
berangkat, sultan menikahkannya dengan seorang wanita yang bernama Bajut, agar
ia kembali ke banjar setelah menyelesaikan studinya di tanah suci. Ia belajar
di Mekkah sekitar 30 tahun dan memperdalam berbagai cabang ilmu pengetahuan,
salah seorang gurunya yang terkenal ialah Syeikh Athaillah. Dengan izin gurunya
ini, ia diberi kepercayaan untuk mengajar dan memberi fatwa di “Majidil haram”,
kemudian ia melanjutkan pelajaran di Madinah dengan Imam Haramain, Syeikh
Al-Islam Muhammad Bin Sulaiman Al-Kurdi , dan Syeikh Abdul Karim As-Samani
Al-Madani, selama lebih kurang 5 tahun.
Selama belajar di tanah suci, Al-Banjari
berteman akrab dengan Syeikh Abdus Samad Al-Palembani, Abdul Wahab bugis, dan
Syeikh Abdurrahman Masri, masing-masing berasal dari Palembang (sumatera
selatan), ujung pandan (Sulawesi selatan), dan Jakarta, keempat sahabt ini
disebut dengan sebutan “Empat serangkai dari jawa”.
Pada mulanya, empat serangkai ini bermaksud
melanjutkan studi mereka ke mesir, tetapi Syeikh Al-Islam Muhammad Bin Sulaiman
Al-Kurdi menasihatkan agar mereka kembali ke kampong halaman untuk membina
ummat, Imam Haramain menganggap ilmu mereka sudah cukup dan tidak perlu belajar
lagi ke mesir. Di samping itu, tenaga mereka dibutuhkan di daerah masing-masing.
Atas nasihat tersebut, keempat sahabat ini
kembali ke Indonesia. Tetapi sebelum ke Kalimantan, Al-Banjari bersama Syeikh
Abdul Wahab Bugis tinggal di Jakarta, di tempat sahabatnya Syeikh Abdurrahman
Masri selama beberapa bulan. Disini Al Banjari membetulkan beberapa arah kiblat
mesjid, yang menurut pengetahuan dan keyakinannya tidak tepat. Masjid yang
dibetulkan arah kiblatnya oleh al-banjari antara lain adalah mesjid jembatan
lima, mesjid luar batang, dan mesjid pekojan. Di mihrab mesjid jembatan lima
terdapat catatan bahasa arab bahwa arah kiblat mesjid itu diputar kea rah kanan
sekitar 25 derajat oleh al-banjari pada 4 safar 1186 (sekitar 7 mei 1772).
Al-banjari tiba di martapura (ibukota
kesultanan banjar) pada ramadhan 1186 (desember 1772). Sejak itu sampai
wafatnya (kalampayan, astambul, banjar,
Kalimantan selatan, 6 syawal 1227/ 13 oktober 1812) ia mengabdikan dirinya
membina masyarakat dan mengembangkan islam. Dalam kegiatan pembinaan masyarakat
ini, ia dibantu syeikh Abdul wahab Bugis yang pada ketika itu sudah menjadi
menantunya, syeikh Abdul wahab Bugis dinikahkan Al-Banjari dengan putrinya,
syarifah di Mekkah, tidak lama setelah Al-Banjari menerima surat dari sultan
banjar bahwa istrinya, bajut melahirkan anak dan sudah dewasa.
Langkah pertama yang dilakukan Al-Banjari
setibanya di martapura iaah membina kader ulama, khususnya di lingkungan
keluarganya sendiri, untuk itu ia tidak tinggal di istana seperti sebelum ia
berangkat ke tanah suci, ia meminta kepada sultan agar diberikan sebidang tanah
yang akan digunakan untuk tempat tinggal, tempat pendidikan, dan pusat
pengembangan islam, sultan Tamjidillah (1745-1778) yang berkuasa ketika itu
mengabulkan permintaannya. Al-Banjari diberi sebidang tanah kosong berupa hutan
belukar. Tanah ini dijadikan sebagai perkampungan, disini dibangun rumah, ruang
pengajian, perpustakaan, dan asrama para santri. Sejak itu mulailah kampong
baru ini ramai didatangi santri dari berbagai pelosok daerah, kampong ini
sampai sekarang dikenal dengan nama “Dalam Pagar”, karena mulanya para santri
yang belajar dalam ruangan tertentu di kampong ini tidak boleh meninggalkan
lingkungan tersebut tanpa izin, jika keluar mereka disebut keluar pagar.
Dalam perjalanan sejarah islam di Kalimantan
selatan, bentuk pendidikan yang dilakukan Al-Banjari ini merupakan hal yang
baru ketika itu, yaitu pendidikan islam berada dalam satu kompleks lengkap
dengan mushalla, tempat belajar, kiai/gure, perpustakaan dan asrama untuk para
santri. Disamping itu para santri tidak hanya diberi pelajaran agama, akan
tetapi para santri juga dididik di bidang bertani dan sebagainya agar mereka
bisa hidup mandiri.
Disamping membuka pengajian dan pendidikan
berbentuk pondok pesantren , Al-Banjari juga gigih dalam melakukan da’wah
langsung di tengah masyarakat, di kota maupun di desa terpencil, di lingkungan
keluarga sultan atau rakyat biasa. Dakwah langsung ini mendapat sambutan yang
positif dari masyarakat, sehingga semangat keagamaan tumbuh subur di kalangan
masyarakat, tempat pengajian pun semakin ramai dikunjungi orang.
Atas anjurannya, dalam pemerintah kesultanan
banjar diberlakukan hokum islam, bukan hanya terbatas pada hokum dunia saja,
tetapi juga hokum pidana islam, misalnya hukuman mati bagi pembunuh, potong
tangan bagi pencuri, cambuk bagi pezina, dan hukuman mati bagi orang islam yang
murtad. Untuk melaksanakan hokum tersebut, atas nasihatnya pula dibentuk
mahkamah syariah, semacam pengadilan tingkat banding sekarang ini, disamping
lembaga keqadian, untuk memimpin mahkamah syariah ini ditunjuk seorang mufti.
Mufti pertama yang diangkat sultan ialah syeikh Muhammad As’ad, cucu
Al-Banjari, dan qadhi pertama adalah Abu Zu’ud, anak Al-Banjari. Keduanya
sebagian dari ulama yang dihasilkan Al-Banjari dari da’wah dan pengajiannya.
Selama mereka menjabat, Al-Banjari menjadi penasehat utama mereka.
Al-Banjari aktif menulis sampai akhir hayatnya.
Hasil karyanya yang terbesar ialah SABILAL MUHTADIN (jalan orang yang mendapat
petunjuk), sebuah kitab fiqih mazhab syafi’I yang dijadikan kitab pegangan dan
bahan pelajaran di kebanyakan tempat pengajian agama di Indonesia sekarang, dan
juga di Malaysia, dan Thailand, kitab ini ditulis dalam bahasa melayu (jawi)
tulisan arab.
Karya lainnya di bidang fiqih ialah Luqthah
Al ‘Ajlan, kitab An-Nikah (buku nikah), kitab Al-Faraidh, dan khasyiyah Fath Al
Jawad.
Di bidang tauhid, karyanya antara lain Ushul
Ad Din, Tuhfah Ar Raghibin Fi Bayan Haqiqah Iman Al Mu’minin Wa Ma Yufsidu Min
Riddah Al Murtaddin, Al Qaul Al Mukhtashar Fi Alamah Al Mahdi Al Muntazar, dan
Terjemah Fathur Rahman.
Disamping itu masih ada karya tulis beberapa
mushaf Al-Qur’an tulisan tanggal Al-Banjari dalam ukuran besar yang ditulis
dengan khat yang sangat indah, Mushaf tersebut sampai sekarang masih dipajang
di dekat makam beliau.
Untuk memelihara akidah-akidah ummat islam dan
kemurnian ajaran, Al-Banjari pernah memberi fatwa penjatuhan hukuman mati
terhadap haji Abdul Hamid yang mengajarkan ajaran Wahdatul Wujud yang
menyesatkan di kalangan masyarakat.
Posting Komentar
jangan lupa di coment !!!!