Ulama- Ulama fiqih dalam mazhab syafi’i,
ulam amutaqaddimin dan ulama muta-akhirin, telah membahas masalah niat dan
ushalli sedalam-dalam dan seluas luasnya. Sudah lama beliau-beliau ini membahas
soal ini dengan sangat serius, secara sungguh-sungguh, ditinjau dari
bermacam-macam segi dan bermacam-macam dalil. Akhirnya mereka memutuskan hokum
niat adalah wajib sedangkan membaca ushalli adalah sunnat.
Namun untuk membahas bagaimana cara mereka
beristidlal dari dalil-dalil ayat dan hadist, mungkin dapat menghabiskan
tulisan yang banyak dan panjang, maka disini tidak tertera tentang
bagaimana mereka beristidlal dari dalil-dalil.
bagaimana mereka beristidlal dari dalil-dalil.
Apalagi untuk menjelaskan kepada umum yang tidak faham dalam cara beristidlal, yang tidak begitu tahu cara-cara mengambil hokum dari Qur’an dan hadist.
Tetapi walaupun tidak dijelaskan bagaimana
cara mereka beristidlal, beberapa dalil ayat dan hadist yang menjadi rujukan
pengambilan hokum mereka akan tertera dibawah ini.
Dalil-dalilnya adalah sebagai berikut :
- Dalil kesatu, Firman Tuhan :
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ
الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ
الْقَيِّمَةِ
Artinya
:”dan tiadalah mereka (manusia) diperintah kecuali untuk beribadat menyembah
Allah dengan mengikhlaskan ibadat hanya semata-mata untuknya (Al-Baiyinah : 5).
Di dalam ayat ini dinyatakan :
a. Manusia diperintah oleh Tuhan untuk
beribadat. Perintah itu dinamai dengan Amar, yaitu suruhan. Menurut ushul fiqh
sekalian suruhan pada dasarnya adalah wajib hukumnya, bukan sunnat dan bukan
harus.
Kesimpulannya : menyembah Tuhan itu wajib.
Diantara ibadat menyembah Tuhan itu adalah sembahyang
yang lima waktu. Maka sembahyang yang lima waktu wajib hukumnya.
b. Di dalam ayat ini dinyatakan bahwa ketika
beribadat itu semata-mata dikerjakan karena mengikuti perintah Allah. Kata
“mengikhlaskan” menurut ilmu arabiyah adalah kata “hal”, yang berarti sedang
dalam keadaan.. jadi arti ayat ini adalah : sembahlah Tuhanmu dalam keadaan
kamu sedang mengikhlaskan ibadat untuknya.
Berkata Imam Qurthubi, seorang ahli tafsir yang terkenal :”ini suatu
dalil yang bahwa niat itu wajib dilakukan dalam sekalian ibadat, karena
“ikhlas” itu merupakan pekerjaan hati, yaitu sengaja bahwa semua itu dikerjakan
semata-mata karena Allah, tidak karena yang lain (Qurthubi Juz XX hal : 144).
- Dali kedua, tersebut di dalam kitab hadist :
- حَدَّثَنَا
الحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ،
قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الأَنْصَارِيُّ، قَالَ: أَخْبَرَنِي
مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ، أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ
وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ، يَقُولُ: سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ عَلَى المِنْبَرِ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ: «إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ،
وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Artinya :”dari saidina Umar bin Khattab,
beliau berkata : saya dengar rasulullah SAW berkata : bahwasanya seluruh niat
dengan niat, dan yang didapatkan manusia ialah apa yang diniatkannya (HR.
Bukhari dll, Shahih Bukhari Juz ! hal. 6).
Keterangan- keterangan tentang hadist ini :
1) Hadist ini hadist shahih, muttafaq alaihi,
ya’ni diriwayatkan oleh imam bukhari dan muslim.
Bukan saja Imam Bukhari dan Muslim, tetapi hadist ini
juga dirawikan oleh Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majja, Abu Daud.
Oleh sebab pentingnya hadist ini maka Imam Bukhari meletakkan hadist ini
dalam 7 tempat, yaitu di kitab-kitab :
a) Kitab Badul Wahyi
b) Kitabul Iman.
c) Kitabul ‘Itqi.
d) Kitabu Manaqibul Anshar.
e) Kitabun Nikah.
f) Kitabul Aiman Wan Nuzur.
g) Kitabul Hiyal.
Dan Imam Muslim meletakkan hadist ini dalam kitabul
imarah.
2) Arti hadist ini ialah, bahwa sekalian
amalan mesti dengan berniat, jadi hadist ini adalah hadist perintah (amar)
bukan hadist khabar semata-mata, karena kalau khabar semata-mata menjadi tidak
cocok atau menjadi kabar yang tidak benar, karena ada juga amalan yang
dilakukan dengan tidak mesti mendatangkan niat.
3) Niat itu tidak boleh terdahulu dan tidak
boleh terkemudian dari ibadat, tetapi musti diletakkan pada permulaan setiap
ibadat yang dilakukan, dalam berwudhu’ pada ketika membasuh muka, dalam
sembahyang pada ketika membaca takbir “Allahu Akbar”.
Yang dikecualikan dalam muqaranah hanyalah niat pada puasa, karena sulit
sekali melakukan niat serentak dengan puasa, karena kawatir kalau terdahulu
puasa daripada niat atau terkemudian puasa daripada niat, karena waktau antara
malam dan siang itu hanyalah sedetik, jadi niat puasa boleh dilakukan.
Di dalam hadist ada kata “BI” yang berarti “Mushahabah” (bertemu). Maka
arti hadist ini : Bahwasanya semua amalan mesti bertemu dengan niat, tidak
boleh terdahulu dan tidak boleh terkemudian.
- Dalil ketiga :
wajibnya niat dalam
sembahyang adalah ijma’, yaitu kesepakatan imam-imam mujtahid yang hidup dalam
satu zaman menetapkan hokum begitu, tidak seorang pun yang membantah. Ulama-Ulama dalam lingkungan mazhab Hanafi
lebih condong memakai dalil yang ketiga ini dalam mewajibkan niat dalam ibadah
sembahyang. Tetapi bagaimanapun telah sepakat Ulama-Ulama islam yang hukumnya
selalu dipegangi dalam menetapkan hokum-hukum agama, bahwa niat dalam
sembahyang itu wajib, tidak sah sembahyang tanpa niat.
- Dalil yang keempat :
adalah Qiyas, ya’ni diqiyaskan
wajib membaca niat dalam sembahyang dengan wajib membaca niat dalam ibadat
haji. Dalam kitab hadist akan kita jumpai
keterangan sebagai dibawah ini :
Artinya
:”Dari saidina Umar, beliau berkata : saya dengan Rasulullah SAW, berkata di
WADI’ AQIQ : dating tadi malam pesuruh dari tuhanku, Ia memerintahkan supaya
kita sembahyang di lembah yang diberi berkat ini, dan ucapkanlah “ini ‘umrah
dalam haji” (HR. Bukhari hal 189---Fathul Bari Juz IV hal. 135).
Keterangan hadist ini :
a. Hadist ini hadist sahih, dirawi oleh Imam
Bukhari dalam kitabnya pada “kitabul haji”
b. Pada ketika beliau dan sahabat-sahabatnya
sampai di padang ‘aqiq menuju naik haji ke Mekkah, beliau memerintahkan kepada
sahabatnya agar meniatkan “umrah bersama-sama haji”, jadi nabi dan para sahabat
melakukan haji qiran ya’ni haji yang bersamaan dengan umrah, lembah ‘aqiq itu 4
mil dari kota madinah.
c. Dalam hadist ini dinyatakan bahwa nabi
menyuruh melafadhkan niat haji, yaitu beliau katakana “QUL” yang berarti
ucapkanlah. Diucapkan pada lisan dan diniatkan dalam hati.
Kalau dalam ibadat haji boleh mengucapkan niat, maka
tidak ada salahnya kalau dalam ibadat sembahyang diucapkan pula niat itu, yang
kita namai sekarang dengan “membaca ushalli”.
Itulah maka Imam Ibnu Hajar mengatakan dalam TUHFAH,
bahwa ushalli ini diqiyaskan daripada haji, sebagai yang telah diterangkan
diatas, Qiyas adalah salah satu sumber hukum agama.
- Dalil kelima, tersebut dalam hadist Muslim :
عَنْ أَنَسٍ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا
Artinya
:”Dari Anas Bin Malik beliau berkata : saya mendengar Rasulullah SAW
mengucapkan “labbaika, aku sengaja mengerjakan Umrah dan Haji” (HR. Muslim,
lihat syarah Muslim Juz VIII hal :216).
Terang dalam hadist ini bahwa nabi
mengucapkan “Ushalli nya Haji” yaitu mengucapkan niat haji dengan lisan,
sehinnga terdengar oleh Sayidina Anas.
Dapat dima’lumi, bahwa ibadat haji sama
dengan ibadat sembahyang. Kalau dalam ibadah haji nabi mengucapkan niat, maka
tidak ada salahnya kalau sembahyang ini diqiyaskan kepada ibadah haji, sehinnga
sama-sama boleh mengucapkan niat (Ushalli).
Itulah yang dinamakan dengan qiyas, yaitu
menyamakan hokum dalam dua masalah yang sama, sehingga boleh dikatakan : kalau dalam ibadah haji sunat mengucapkan
niat maka dalam ibadah sembahyang juga sunat mengucapkannya.
Berkata Imam Qasthalani dalam kitab “Al
Mawahibul Laduniyah”, begini :
Artinya
:”dan yang telah tetap dalam fatwa-fatwa sahabat kita (maksudnya ulama-ulama
dalam lingkungan syafi’i), sunnat hukumnya membaca ushalli itu. Sebahagian
ulama itu menqiyaskan kepada yang tersebut dalam kitab shahih hadist dari Anas
Bin Malik, bahwa beliau mendengar Rasulullah mengucapkan “Labbaika, saya
sengaja mengerjakan Umrah dan Haji”. Dan di dalam hadist Bukhari dikatakan,
bahwa nabi menyuruh sahabat-sahabatnya melafadhkan niat dan sembahyang di wadi’
aqiq. Ini jelas dengan ucapan. Hokum itu sebagaimana ditetapkan dengan nash
ditetapkan juga dengan qiyas (Lihat Kitab Mawahibul Laduniyah, Juz II hal.
217—218).
Jadi Imam Qasthalani menyetujui juga, bahwa
dalil atas sunatnya Ushalli adalah qiyas, ya’ni diqiyaskan kepada ibadat haji.
Imam Qasthalani (wafat : 923 H). beliau
adalah seorang ulama besar dalam lingkungan mazhab syafi’i.
- Dalil keenam, di dalam hadist disebutkan :
حَدَّثَنَا الحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ، قَالَ:
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الأَنْصَارِيُّ،
قَالَ: أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ، أَنَّهُ سَمِعَ
عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ، يَقُولُ: سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الخَطَّابِ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى المِنْبَرِ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «إِنَّمَا
الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Artinya
:”Dari sayidina Umar bin Khattab, beliau berkata : sesungguhnya sekalian amalan
(ibadat) mesti dengan niat, dan sesungguhnya yang didapat oleh manusia apa yang
diniatkannya (HR. Bukhari dll, lihat shahih bukhari I, hal 6).
Dari hadist ini pada kalimat kedua
dikatakan :”Dan sesungguhnya yang didapat oleh manusia adalah apa yang
diniatkannya”. Ini adalah dalil yang kuat, bahwa dalam berniat itu mesti
dijelasakan apa yang dikerjakan, yaitu dinyatakan ta’yin.
Umpamanya sembahyang, harus dinyatakan sejelas-jelasnya dalam niat
sembahyang apa yang dikerjakan, sembahyang fardhu atau sembahyang
sunatsembahyang subuh atau sembahyang dhuhur dan begitulah seterusnya.
Berkata Syaikh Jalaluddin As-Syuyuthi, mengatakan dalam kitabnya
“Asybah Wan Nadhair”, bahwa akhir hadist ini adalah dalil yang kuat untuk
menyatakan bahwa ta’yin itu wajib dalam berniat sembahyang (Al Asybah Wan
Nadhair, hal : 10).
Andaikata seseorang melakukan sembahyang tanpa mengatakan dengan
tegas, umpamanya hanya dikatakan “aku sembahyang” saja, maka malaikat kiraman
katibin yang menuliskan amal seseorang akan bertanya-tanya : sembahyang apa
ini, padahal sembahyang banyak macamnya, kox tidak dijelaskan ya ???.
- dalil ketujuh :
Di dalam ushul fiqh ada qaidah yang
ditetapkan sesudah memperhatikan dari dalil-dalil Al-Qur’an dan hadist :
Bunyinya begini : LIL WASA_IL HUKMUL MAQAASHID.
Artinya :”sesuatu yang menjadi jalan untuk menghasilkan tujuan atau
maksud maka hukum sesuatu tersebut sama seperti hukum yang dituju.
Contohnya seperti : menjual kertas judi hukumnya haram, karena
tujuan daripada kertas itu adalh untuk berjudi, sedangkan berjudi hukumnya
haram, maka penjualan tersebut juga haram hukumnya.
Dan seperti berusaha hukumnya wajib bila tujuan usaha itu adalah
untuk memberi nafaqah kepada istri dan anak-anak kita.
Qaidah ini dapat diterapkan dalam soal niat dan ushalli, jalannya
begini :
1.
Niat wajib diletakkan di dalam hati
ketika membaca takbir.
2.
Menyegerakan hadirnya semua niat
dalam takbir sunat hukumnya.
3.
Membaca ushalli adalah suatu jalan
penolong untuk menyegerakan hadirnya niat di dalam hati, maka karena itu
hukumnya sunat pula, inilah maksud ulama agar lisan menolong hati, karena
membaca niat sesaat sebelum takbir dapat menolong menyegerakan hadirnya niat di
dalam hati.
Posting Komentar
jangan lupa di coment !!!!