Sebuah hikayat yang terjadi pada masa Syeik Hamad yaitu guru Imam
Hanafi, dimana pada waktu itu terjadilah suatu syubhat yang dilontarkan oleh
seorang kafir yang bernama Dahri, yang sehingga semua ulama-ulama islam pada
masa itu digoyangkan keimanan mereka dengan pertanyaan-pertanyaan aneh dan
membingungkan yang dilontarkan oleh dahri.
Pada suatu hari dahri mengumpulkan semua ulama-ulama islam di dalam
forum, guna dan tujuannya adalah untuk meminta hujjah (keterangan-keterangan)
yang dapat menjawab pertanyaan yang diberikan
olehnya, yaitu dia mengatakan : semua
orang Islam mengatakan Allah itu wujud (ada) tetapi Allah tidak bertempat,
bagaimana sesuatu yang ada tapi tidak bertempat...??? berikan hujjah kalian
kepada saya ????
Namun ulama-ulama pada masa itu tidak sanggup untuk menyelesaikan
persoalan tersebut,
yang sehingga banyak ulama yang sudah dialihkan oleh dia dengan pertanyaan-pertanyaan yang aneh yang ia berikan, lalu ia berkata dengan sombong : Apakah selain kalian–kalian ini ada ulama yang lain yang dapat menyelesaikan persoalan saya ini ...??
yang sehingga banyak ulama yang sudah dialihkan oleh dia dengan pertanyaan-pertanyaan yang aneh yang ia berikan, lalu ia berkata dengan sombong : Apakah selain kalian–kalian ini ada ulama yang lain yang dapat menyelesaikan persoalan saya ini ...??
Maka sahut orang banyak : Ada,dia seorang ulama yang sangat alim
yang bernama Hamad (guru Abi Hanifah). Lalu si Dahri menyeru kepada
khalifah pada masa itu, agar membawa syeih Hamad kehadapan ia, agar dapat
memberi hujjah tentang pertanyaan-pertanyaan yang ia berikan pada waktu itu.
Dengan suruhan Dahri, khalifah langsung pergi ke tempat Syeik Hamad
untuk menyeru ia agar dapat menandingi hujjah kesesatan si dahri, setelah khalifah
mengadu hal ahwal kejadian ulama-ulama yang lain yang tidak sanggup
menyelesaikan persoalan-persoalan yang dilemparkan oleh Dahri dan meminta
kepada Syeikh Hamad untuk bisa memecahkan masalah ini, lalu Syeikh Hamad
berkata kepada khalifah : berikan aku waktu semalam ini saja, setelah itu
baru aku akan menjumpai si dahri tersebut.
Malam berlalu, pagi pun tiba, anehnya corak wajah syeikh Hamad
berubah seperti seseorang yang lagi susah dan berduka cita, tiba-tiba seorang
murid muncul dan melihat keadaan gurunya (syeikh Hamad) seperti orang yang lagi
berduka cita, maka murid tersebut menghampiri sang gurunya, murid itu yakni
adalah Syeikh Nu’man, beliau adalah salah satu daripada pendiri mazhab, yang dikenal
beliau dengan sebutan Imam Hanafi (abi Hanifah).
Sewaktu itu beliau masih kecil, lalu setelah beliau menjumpai sang
gurunya yang bernama Hamad, maka beliau bertanya kepada gurunya : apa
gerangan engkau wahai guruku, yang sehingga engkau nampaknya hari ini memiliki
masalah yang sulit engkau pecahkan, berbagilah masalah engkau wahai guruku
dengan daku, agar kita bisa selesaikan bersama-sama.
Maka sahut syeikh Hamad : bagaimana aku tidak berduka cita,
bagaimana aku tidak merasa gelisah wahai Nu’man, sang khalifah kemarin
menjumpaiku agar bisa memenuhi undangan Dahri untuk menolak Syubhat yang ia
berikan, namun disitu banyak Ulama-Ulama yang lain yang dikumpulkan olehnya
untuk menghadiri acara tersebut, lalu aku semalam bermimpi, dimana aku melihat
suatu keanehan, yang sangat aku takutkan apa yang akan terjadinya nanti dibalik
mimpiku ini ??
Abi Hanifah bertanya : Apa mimpi itu sang guru.....???
Kata syeikh Hamad : mimpi
itu adalah, aku melihat suatu kampung yang sangat luas dan dipenuhi
hiasan-hiasan yang indah, namun ditengah-tengah kampung tersebut tumbuh
sebatang pohon yang sangat besar, berbuah banyak dan berdaun rindang, tapi
sayangnya pohon tersebut lalu dimakan oleh seekor babi, buah-buahnya hilang,
daun-daunnya lenyap semua dimakan babi, maka yang tinggal hanyalah batangnya
saja, lalu pada waktu itu keluarlah seekor harimau dari dalam pohon, lalu
harimau itu memakan babi tersebut hingga musnah ia.
Tiba-tiba Abi Hanifah berkata : sesungguhnya Allah telah
mengajari aku ilmu ta’bir tentang mimpi, mimpi ini merupakan sebuah kebaikan
bagi kita dan sebuah kecelakaan bagi dahri, izinkan olehmu wahai guruku untuk
menta’birkan mimpi engkau, bila engkau mengizinkan maka aku akan menta’birkan
mimpimu itu.
Maka syeikh Hamad berkata : jelaskanlah olehmu wahai Nu’man akan
mimpiku ini, sesungguhnya aku telah mengizinkan dirimu untuk menafsirkan
mimpiku ini.
Lalu Abi Hanifah menafsirkan mimpi tersebut : wahai guruku,
kampung yang luas dan dipenuhi hiasan-hiasan itu adalah agama islam, pohon yang
berbuah banyak dan berdaun rindang itu ibarat ulama-ulama sekarang, lalu batang
yang tinggal itu merupakan engkau wahai guruku, babi sebagai dahri, sedangkan
harimau yang akan membinasakan babi itu adalah diriku, maka berjalanlah
dirimu wahai guruku bersamaku ke tempat dahri, dengan berkat Himmah mu dan
dengan dengan berkat kehadiranmu bersamaku dihadapan dahri nanti, aku akan menjawab
semua syubhat-syubhat yang diberikan si dahri yang memojokkan agama Allah.
Tiba-tiba gundah gelisah yang tadinya nampak di wajah Syeikh Hamad,
serta merta hilang dan berubah menjadi senang dan bahagia setelah mendengar
penafsiran mimpinya oleh Abi Hanifah, lalu syeikh Hamad berdiri bersama-sama
dengan Abi Hanifah dan berjalan menuju ke mesjid jami’ tempat berkumpulnya
ulama-ulama nanti dalam menyelesaikan persoalan si dahri, setibanya mereka di mesjid jami’ tersebut, khalifah pun
menyusul dibelakang mereka, yang sehingga berkumpullah semua ulama-ulama pada
masa itu di mesjid tersebut.
Syeikh Hamad berdiri di shaf depan, sedangkan Abi Hanifah berdiri
di depan gurunya (Syeikh Hamad) dengan memegang kaus guru dan kaus ia sendiri
di tangannya, lalu datanglah dahri dan langsung menuju keatas mimbar mesjid
itu, setelah ia naik keatas mimbar selanjutnya ia berkata : siapakah
diantara kalian yang sanggup menjawab pertanyaanku nanti ???
sahut Abi Hanifah : silahkan saja engkau bertanya dan nyatakan
olehmu semua permasalahan-permasalahanmu, maka dengan qudrah dan iradah Allah,
orang yang mengetahui diantara kami pasti akan menjawab dan menyelesaikannya.
Tiba-tiba si Dahri marah, karena jawaban Abi Hanifah membuat ia
seperti dilecehkan, karena memang Abi Hanifah sewaktu itu masih sangat kecil
dan belum memiliki gaya seperti ulama-ulama besar yang lainnya, dan ia berkata
kepada Abi Hanifah : Siapakah engkau wahai kanak-kanak, sangat berani dirimu
menyambungkan perkataanku, padahal banyak sekali orang-orang yang megah dan
lebih tua-tua dari kamu, yang memiliki serban besar serta memiliki baju yang
mewah, dan lengan baju yang luas-luas, tapi mereka semua tidak sanggup untuk
memberikan dalil untukku, namun bagaimana dengan engkau ??? engkau masih
seorang anak-anak dan masih hina dihadapan orang-orang, mana mungkin engkau
sanggup memberikan dalil untuk saya ?
Maka berkata Abi Hanifah : Allah memberikan ketinggian dan
kebesaran bukan untuk seseorang yang memakai serban yang besar-besar, bukan
kepada yang berpakain megah, dan bukan kepada orang yang memiliki lengan baju
yang luas, akan tetapi Allah menaruh ketinggiannya dan kebesarannya kepada
orang-orang yang berilmu, sebagaimana Allah berfirman :
Artinya : Allah memberikan kepada mereka yang memiliki ilmu
akan ketinggian.
Berkata dahri kepada Abi Hanifah : apakah engkau sanggup
menjawab pertanyaan-pertanyaanku ?
Bila itu untuk ketinggian agama Islam, maka aku akan menjawab semua
pertanyaan kamu dengan izin Allah, Sahut
Abi Hanifah.
Lalu Dahri memulai pertanyaannya yang pertama, dengan perkataan : wahai
Nu’man, engkau mengi’tiqadkan bahwasanya Allah itu ada ? Benar jawab Abi
Hanifah, saya sangat yakin dengan adanya Allah.
Lalu kamu mempercayai bahwa Allah itu tidak bertempat tanya Dahri.
Sangat percaya (jawab Abi
Hanifah).
Maka dahri bertanya lagi : bagaimanakah engkau bisa yakin
terhadap perkara tersebut ? berikan dalilmu untukmu menyatakan bahwa sesuatu
yang ada itu bisa tidak bertempat ?
Maka sahut Abi Hanifah : wah, kenapa engkau bisa menjadi ragu
akan hal demikian ? padahal dalil itu ada pada dirimu sendiri, apakah engkau
memiliki nyawa ? (tanya Abi Hanifah)
Benar, Aku memiliki nyawa (jawab dahri).
Nah,, coba engkau sebutkan dimana letak roh yang kamu miliki ?
apakah dikepala,di perut, atau dikaki ? (tanya Abi Hanifah)
Maka tercenganglah si Dahri terhadap jawaban yang diberikan oleh
seorang anak kecil yang bernama Abi Hanifah. Lalu Abi Hanifah membawakan susu
dihadapan Dahri sebagai Bukti atau dalil yang lain yang membuktikan bahwa Allah
ada tanpa memiliki tempat, maka bertanya Abi Hanifah kepada Dahri : ini
adalah sesuatu yang sudah kita ketahui secara dharuri bahwa air susu mengandung
vitamin yang sangat banyak, namun apakah engkau mengetahui dimana letaknya
vitamin di dalam susu ini ? dibawahkah atau diatas ?
Kebingungan dahri semakin bertambah-tambah terhadap jawaban Abi
Hanifah, dan berkata Abi Hanifah lagi : sebagaimana ruh yang ada pada dirimu
itu ada dan ia tidak memiliki tempat, dan sebagaimana susu ini memiliki vitamin
tetapi tidak diketahui keberadaannya, maka ini bisa menjadi hujjah bahwa tidak
menjadi suatu kemustahilan bagi Allah itu ada tapi ia tidak memiliki tempat,
maha suci Allah daripada bertempat.
Setelah Dahri menjadi tercengan terhadap jawaban Abi Hanifah kepada
pertanyaan ia, lalu ia melanjutkan pertanyaannya yang kedua, Berkata ia : Adakah
sesuatu yang mendahului dari Allah dan adakah sesuatu yang kemudian dari Allah
?
Jawab Abi Hanifah : Tiada sesuatu yang mendahului Allah dan
tiada sesuatu Yang kemudian dari Allah, karena Allah yang terdahulu dan Allah
pula tidak ada yang dikemudiankan.
Bertanya lagi Dahri : bagaimana
sesuatu yang maujud itu bisa ada ia tanpa didahului oleh sesuatu dan
tidak dikemudiankan ia oleh sesuatu ?
Abi Hanifah memberi keterangan : sebagai bukti bahwa sesuatu ada
tanpa didahului oleh sesuatu dan tanpa dikemudiankan oleh sesuatu itu ada pada
diri kamu wahai Dahri, coba anda lihat ibu jari anda dan jari kelingking anda,
apakah ada sesuatu yang didahului oleh ibu jari anda, dan apakah ada sesuatu
yang dikemudiankan daripada kelingking anda ?
Dahri : tidak ada yang mendahului ibu jari ku dan tidak ada
sesuatu yang mengemudiankan jari kelingkingku,
Abi Hanifah : nah,, begitu juga dengan Allah, dia adalah zat
yang tidak didahului oleh sesuatu dan tidak dikemudiankan oleh sesuatu juwa,
itu bukan sesuatu yang mustahil pada Allah.
Lalu setelah dua persoalan dituntaskan oleh Abi Hanifah, maka Dahri
bertanya soal yang terakhir : wahai Nu’man, engkau sudah menuntaskan 2
persoalan yang kuberikan, tinggal satu lagi pertanyaanku yang belum engkau
jawab, Engkau percaya dan sangat yakin terhadap adanya Allah, namun apakah
pekerjaan Allah pada waktu sekarang ? berikan dalil untukku ?
Berkata Abi Hanifah : engkau bertanya tentang pekerjaan Allah
sekarang kepadaku, akan tetapi engkau berada di atas mimbar, sedangkan aku
berdiri dibawah, bagaimana ini ? padahal yang sepantasnya berdiri di atas
mimbar adalah orang yang menjawab sedangkan yang bertanya harus dibawah, maka
apabila engkau turun dari atas mimbar dan mempersilahkan diriku untuk naik ke
atas mimbar, maka aku akan menjawab persoalanmu insya Allah.
Maka turunlah dahri dari atas mimbar dan mempersilahkan Abi Hanifah
untuk naik ke atas mimbar, maka berkata Dahri : sekarang kau berada diatas
mimbar sedangkan aku berada dibawah, maka berikan hujjahmu sebagaimana engkau
berjanji tadi.
Lalu jawab Abi Hanifah : pekerjaan Allah sekarang adalah
menurunkan yang bathil seperti anda, dan menaikkan seseorang yang hak (benar)
seperti saya ke atas mimbar, maka itulah pekerjaan Allah sekarang ini.
Maka tuntaslah syubhat yang dilontarkan oleh seorang kafir yang
bernama dahri pada masa itu oleh seorang ulama kecil pada waktu itu yang
bernama Nu’man (Imam Hanafi), pada saat itu semua ulama-ulama mengakui kealiman
Abi Hanifah, dimana beliau walau masih kecil umur tapi sanggup melepaskan
Syubhat yang pada waktu itu para ulama-ulama besar saja sudah bingung untuk
menyelesaikannya.
Dengan demikian, hancurlah kebathilan yang dibawa oleh Dahri kepada
segenap ulama-ulama islam pada masa itu dengan hujjah ‘aqli nya Abi Hanifah.
RUJUKAN : KITAB ‘AQIDATU NAJIN FI ‘ILMI
USHULUDDIN.
KARANGAN :
SYEIKH ZAINUL ‘ABIDIN BIN MUHAMMAD AL-FATHANI
NOTE : Hujjah ‘Aqli juga sangat dipentingkan bagi kita untuk
mengetahuinya, karena bila syubhat yang datang kepada kita adalah syubhat yang
dibawa oleh orang-orang kafir, maka orang kafir itu sangat susah untuk menerima
penjelasannya bila tidak masuk akal mereka, akan tetapi dalil akal tersebut
semestinya harus cocok dengan dalil naqli (qur’an & hadist), bila suatu
perkara diterima oleh akal sedangkan Qur’an & Hadist tidak menerimanya maka
buanglah akal itu jauh-jauh dan ambillah Al-Qur’an dan Sunnah. Itulah yang
dikatakan hakikat Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
Berbeda dengan orang-orang mu’tazilah, dimana mereka memutuskan
segala perkara dengan akal-akalannya walaupun yang sesuai dengan akalnya itu
tidak cocok dengan Qur’an & Hadist, dan mereka akan membuang dalil Qur’an
& Hadist bila dalil tersebut tidak cocok dengan akal mereka, Maka coba
bedakan ini !!!!
Posting Komentar
jangan lupa di coment !!!!